Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out
Selamat DaTang di Wahana KreaTifitas...!!!

Cari Blog Ini

Rabu, 24 Maret 2010

ANGKATAN 66

Rabu, 24 Maret 2010
1 komentar

Angkatan 66




Tentang Angkatan 66 ada empat orang penulis yang mengutarakannya. Mereka itu HB Jassin dalam angkatan 66 Prosa dan Puisi (1968) , Satyagraha Hoerip artikelnya dalam horison yang berjudul Angkatan 66 dalam Kesusasteraan Kita (1966) , Artikel Aoh K Hadimadja berjudul Daerah dan Angkatan 66 majalah Horizon-1967, Artikel Racmat djoko Pradopo Penggolongan Angkatan dan angkatan 66 dalam Sastra-Horison Juni 1967
Mereka memang saling berbeda  pendapat atau persepsi namun tak begitu prinsipil karena sesungguhnya tidak ada pihak yang dirugikan. Bagi mereka, para pengarang itu, masuk golongan apapun tak jadi soal.
Akan tetapi menurut HB Jassin, "Angkata 66 Bangkitya Satu Generasi" (Horison, Agustus 1966) adalah suatu angkatan. Adapun yang termasuk dalam angkatan 66 ini menurutnya adalah mereka-mereka yang takkala proklamasi kemerdekaan (1945) kira-kira berumur enam tahun dan baru masuk SD/SR. Jadi tahu 1966 baru sekitar 20-an tahu. Mereka itu telah giat menulis dalam majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 1955-an seperti  Kisah, Siasat ,  Mimbar Indonesia , Budaya, Crita, Sastra, Konfrontasi, Basis, Prosa dan sebagainya.
Untuk angkatan 66 seperti yang digolongkan oleh HB Jassin itu, yang lain sekitar zaman pendudukan Jepang, menurut Satyagraha Hoerip lebih tepat kalau dimasukkan kedalam angkatan Manifes ( Horison Desember 1966 ). Tentu saja bukannya tanpa alasan. Sebab memang merekalah yang sebagian besar tergabung atau justru terang-terangan mendukung adanya Manifes Kebudayaan di tahun 1964 yang kemudian dilarang oleh Presiden Soekarno tahun berikutnya.
Dengan demikian bisa dicatat nama-namanya , antara lain : Ajip Rosidi, Rendra, Taufiq Ismail, Hartojo Andangjaya, Mansur Samin, Goenawan Muhammad, Djamil Suhirman , Bur Rasuanto, Bokor Hutasuhut, Bastari Asnin dll. Jadi yang temasuk angkatan 66 ini bukannya yang baru menulis sejak adanya perlawanan ditahun 1966. Tetapi, justru yang telah sejak beberapa tahun sebelumnya dengan satu kesadaran.
Ajip Rosidi didalam kertas kerjanya di Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa Kedua Jakata tahun 1960, malahan sudah menggunakan istilah Angkatan Terbaru. Menurutnya, mereka muncul pada saat dunia sastra kita digamangi oleh kemuraman karena adanya krisis, kelesuan dan impase (kebuntuan). Mereka merupakan hasil pengajaran yang tumbuh dalam pengaruh kesusasteraan Indonesia. Mereka telah memberikan nilai baru terhadap ilham dan tempat berpijak serta berakar secara kultural.
Untuk lebih jelasnya, lihat buku Ajip Rosidi Kapan Kesusasteraan Indonesia Lahir (1968), juga simak tulisan HB Jassin Angkatan 66, Bangkitnya satu generasi, dalam bukunya Angkatan 66 Prosa dan Puisi terbitan tahun 1968.
Source Jajak MD - Para Pujangga Indonesia

read more

SEJARAH SINGKAT ANGKATAN 45

0 komentar

Sejarah Singkat Angkatan 45


www.duniasastra.com
Rosihan Anwar dalam sebuah tulisannya dimajalah Siasat tanggal 9 Januari 1949, memberikan nama angkatan 45 bagi pengarang-pngarang yang muncul pada tahun 1940-an. Yakni sekitar penjajahan Jepang, zaman Proklamasi dan berikutnya.
Diantara mereka yang lazim digolongkan sebagai pelopornya adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Pramudya, Usmar Ismail dsb. Nmaun sesungguhnya, tidak hanya itu saja saja alasan untuk memasukkan mereka kedalam angkatan yang lebih baru dari Pujanga Baru. Jelasnya, terlihat sekali pada karya-karya Chairil dimana ia telah membebaskan diri dari kaidah-kaidah tradisional kita dalam bersajak.
Lebih dari itu, "jiwa" yang terkandung dalam sajak-sajaknya terasa adanya semacam pemberontakan. Kendatipun demikian tak lepas dari pilihan kata-kata yang jitu, yang mengena, sehingga terasa sekali daya tusuknya.
Dibidang Prosa, Idrus dianggap sebagai pendobraknya dan sebagai pelanjut dari Pujangga Baru, bersama kawan-kawannya ia berkumpul dalam Angkatan 45.Landasan yang digunakan adalah humanisme universal yang dirumuskan HB Jassin dalam Suat kepercayaan Gelanggang. Jadi angkatan 45 merupakan gerakan pembaharuan dalam bidang sastra Indonesia, dengan meninggalkan cara-cara lama dan menggantikannya dengan yang lebih bebas, lebih lugas tanpa meninggalkan nilai-nilai sastra yang telah menjadi kaidah dalam penciptaan sastra.
Source Jajak MD - Para Pujangga Indonesia

read more

PUJANGGA BARU

0 komentar

Singkat Tentang Pujangga Baru

www.duniasastra.com





Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia.
 Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan.
Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan.
Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokohtokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.
Mengingat masa hidup Pujangga Baru ( I ) itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang , maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya. Dengan demikian, boleh dikatan generasi Pujangga Baru  adalah generasi lama. Sedangkan angkatan 45 yang kemudian menyusulnya, merupakan angkatan bar yang jauh lebih bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya.
source : Jajak MD- Para Pujangga Indonesia.

read more

Selasa, 23 Maret 2010

BALAI PUSTAKA

Selasa, 23 Maret 2010
0 komentar

 
Angkatan Balai Pustaka





Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 - 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka

·         Merari Siregar
o        Azab dan Sengsara: kissah kehidoepan seorang gadis (1921)
o        Binasa kerna gadis Priangan! (1931)
o        Tjinta dan Hawa Nafsu
·         Marah Roesli
o        Siti Nurbaya
o        La Hami
o        Anak dan Kemenakan
·         Nur Sutan Iskandar
o        Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan
o        Hulubalang Raja (1961)
o        Karena Mentua (1978)
o        Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
·         Abdul Muis
o        Pertemuan Djodoh (1964)
o        Salah Asuhan
o        Surapati (1950)
·         Tulis Sutan Sati
o        Sengsara Membawa Nikmat (1928)
o        Tak Disangka
o        Tak Membalas Guna
o        Memutuskan Pertalian (1978)
·         Aman Datuk Madjoindo
o        Menebus Dosa (1964)
o        Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934)
o        Sampaikan Salamku Kepadanya
·         Suman Hs.
o        Kasih Ta' Terlarai (1961)
o        Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
o        Pertjobaan Setia (1940)
·         Adinegoro
o        Darah Muda
o        Asmara Jaya
·         Sutan Takdir Alisjahbana
o        Tak Putus Dirundung Malang
o        Dian jang Tak Kundjung Padam (1948)
o        Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1963)
·         Hamka
o        Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
o        Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)
o        Tuan Direktur (1950)
o        Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
·         Anak Agung Pandji Tisna
o        Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1975)
o        Sukreni Gadis Bali (1965)
o        I Swasta Setahun di Bedahulu (1966)
·         Said Daeng Muntu
o        Pembalasan
o        Karena Kerendahan Boedi (1941)
·         Marius Ramis Dayoh
o        Pahlawan Minahasa (1957)
o        Putra Budiman: Tjeritera Minahasa (1951)
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Balai Pustaka oleh sebab banyaknya karya tulisnya pada masa tersebut.

read more

PUJANGGA LAMA

0 komentar
Pujangga Lama

 

Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.

Karya Sastra Pujangga Lama

·         Sejarah Melayu
·         Hikayat Abdullah - Hikayat Andaken Penurat - Hikayat Bayan Budiman - Hikayat Djahidin - Hikayat Hang Tuah - Hikayat Kadirun - Hikayat Kalila dan Damina - Hikayat Masydulhak - Hikayat Pandja Tanderan - Hikayat Putri Djohar Manikam - Hikayat Tjendera Hasan - - Tsahibul Hikayat
·         Syair Bidasari - Syair Ken Tambuhan - Syair Raja Mambang Jauhari - Syair Raja Siak
·         dan berbagai Sejarah, Hikayat, dan Syair lainnya

read more

Senin, 22 Maret 2010

DAHSYATNYA JENGGOT PAK HAJI SOBARI

Senin, 22 Maret 2010
0 komentar

Dahsyatnya Jenggot Pak Haji Sobari
By. Nur Wachid
PBSI B 2009 R STKIP PGRI PONOROGO

Sinar matahari senja tak serasa hangat lagi. Dibawah lentera biru dihadapan masjid Al – Hikmah duduk berbanjar dan berbaris. Satu suara menjadi tuntunan bagi para jamaa’ah yang hadir dalam acara pengajian H. Sobari. Budi menangis tersiak – siak saat Pak H. Sobari berdiri di atas mimbar. Semua pandangan tertuju pada Budi, termasuk juga pandangan Pak Haji Sobari. Pak Haji pun lantas bertanya pada Budi.

Pak Haji                 : “Ada apa Nak kamu menangis?”
Budi                       : “Saya menangis karena jenggot Pak Haji.”
Pak Haji                 : “Kenapa dengan jenggotku Nak?”
                                 (Sambil menglus – elus jenggot panjangnya)
Budi                       : “Saya teringat pada kambing kesayanganku yang kemarin mati Pak Haji.”
Pak Haji                 : “????@#$%!!!!!!!” (Wajahnya berkerut muram penuh amarah)
Para Jamaa’ah        : “Hahahahaha…. haha….. haaha…” (Tertawa terbahak - bahak)

read more

Minggu, 21 Maret 2010

PAGAR API MENJAWAB TANTANGAN JURNALISTIK

Minggu, 21 Maret 2010
0 komentar
Pagar Api Menjawab Tantangan Jurnalistik
By. Nur Wachid
PBSI B 2009 (R) STKIP PGRI PONOROGO

Pers adalah merupakan sebuah dan salah satu lembaga yang sangat urgen dalam ikut serta mencerdaskan serta membangun kehidupan bangsa, yang hanya dapat terlaksana jika pers memahami tanggung jawab profesinya serta norma hukum guna meningkatkan peranannya sebagai penyebar informasi yang obyektif, menyalurkan aspirasi rakyat, memperluas komunikasi dan partisipasi masyarakat, terlebih lagi melakukan kontrol sosial terhadap fenomena yang timbul berupa gejala-gejala yang dikhawatirkan dapat memberi suatu dampak yang negatif.
Di era saat ini makna dari pers tak lagi terdengar lagi gaungnya seperti definisi pers diatas. Saat ini banyak factor yang melunturkan dan menggunakan media jurnalistik sebagai tameng dan penutup kepalsuan, kecurangan, dan kebohongan bahkan untuk mempertahankan dan mengangkat citra publik. Betapa rendahnya jurnalis yang terintervensi ole keadaan tersebut dan betapa rendahnya jika dikaitkan dengan kode etik jurnalistik. Tapi tak berarti bahwa jurnalistik itu rendah adanya, banyak hal yang harus dipertimbangkan seperti intervensi pemilik modal. Disini mereka berperan sebagai penguasa dan pengatur.
Menurut Ignatius Haryanto, Direktur Lembaga Studi Pers & Pembangunan dalam Panel Diskusi Freedom of Press Jakarta Foreign Correspondent Club (JFCC), Rabu (17/3) di Jakarta.Menurut dia, campur tangan pemilik modal ini bertujuan untuk mempertahankan citra publik mereka atau citra perusahaan mereka. Caranya dengan menyensor berita-berita redaksi. Bahkan berkembang fenomena para pengusaha berlomba-lomba masuk ke usaha media, sekalipun industri media di Indonesia tidak terlalu menguntungkan. “Kalau dulu biasanya wartawan yang jadi pengusaha media, tapi sekarang terbalik. Pengusaha yang masuk ke industri media dan biasanya tujuannya untuk memperbaiki citra mereka,”
” Tantangan ini yang harus dipecahkan dan menjadi pekerjaan rumah bagi AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia) dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) untuk menyosialisasikan pentingnya pagar api atau yang juga biasa kami juluki sebagai Tembok China, demi menjaga independensi media,” kata Todung.
Yang dimaksud dengan pagar api dari pernyataan Todung adalah kode etik jurnalistik.
Menurut Ramadhan Pohan Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat “ Tanpa pagar api atau kode etik jurnalistik, campur tangan pemilik modal ini kerap berkembang sebagai “sensor mandiri” oleh redaksi. “Dan ini harus diakui terjadi hampir di seluruh media di Indonesia,”
Salah satu alternative untuk menghadapi tantangan dunia jurnalistik saat ini adalah dengan cara memegang dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Berikut kode etik jurnalistik yang ditetapkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan harus ditaati serta dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia demi tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutu kewartawanan Indonesia yang  bertumpu pada kepercayaan masyarakat.

BAB I
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS
Pasal 1
Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat kepada undang-undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat, martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara serta terpercaya dalam mengemban profesinya.
Pasal 2
Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
Pasal 3
Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional.
Pasal 4
Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan.

BAB II
CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT
Pasal 5
Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.
Pasal 6
Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.
Pasal 7
Wartawan Indonesia dalam memberitakan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.
Pasal 8
Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila (asusila) tidak merugikan pihak korban.
BAB III
SUMBER BERITA
Wartawan Indonesia menempuh cara yang sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita.
Pasal 10
Wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau obyek berita.
Pasal 11
Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita.

Pasal 12
Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.

Pasal 13
Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini.
Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.
Pasal 14
Wartawan Indonesia menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan "off the record".
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
Pasal 15
Wartawan Indonesia harus dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) dalam melaksanakan profesinya.
Pasal 16
Wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahawa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.
Pasal 17
Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.
Tidak satu pihakpun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.

read more

Sabtu, 13 Maret 2010

HARAPAN NYATA PERSONIL LAWAK JAWA TULEN

Sabtu, 13 Maret 2010
0 komentar
Harapan Nyata Personil Lawak Jawa Tulen
Karya : Nur Wachid
PBSI B 2009 (R) STKIP PGRI PONOROGO

Mata nanar berpijak pada tumpuan batu senandung ilmu. Bermaslahat keangkuhan jiwa berkejora putih. Titik semu pada daun pintu mulai terdengar asing. Tak tersahut dengan kata majikan. Tampak kusut wajah tak berhias. Berkobar api semangat bermahligai optimistis. Dengan segala kemampuan dan tenaga, padi – padi kering yang setinggi gunung rinjani mulai tak tampak tinggi menjulang. Cucur deras keringat membasahi kain putih lusuh yang dikenakannya. Tak sanggup lagi rasanya, ditengadahkannya kendi air membasahi kering tenggorokan. Serasa tak henti rasa haus melanda tubuh. Baru air surut dari kendi, tenggorakan sudah mulai basah. Tinggal empat kali pikul. Berdiri kakinya kokoh seperti kaki ayam jantan berjalu petarung. Tangan penuh otot, jari seperti paku – paku besar dari besi jawa. Sekali tekam satu pikul padi – padi kering memenuhi pundak. Bibir mulai tersenyum melihat Gunung Rinjani tak berhias keindahan, rata dengan tanah. Belum selesai mengambil nafas suara itu mucul dari sudut halaman. Agak lirih tapi semakin lama menjadi keras tak tertahan telinga. “Kamar mandi sudah mulai dipenuhi lumut hijau!” Tak ada perintah cuma mengeluarkan kata – kata bermakna perintah. Butir keringat belum mulai kering. Otot kaki masih terasa tegang. Nafas naik turun kencang seperti mobil naskar. Diambilah sikat dan perangkat alat pembersih.
Hari – hari dilalui sebegitu berat. Tak ada yang sanggup hidup seperti kehidupan Simon di Bukit Lintang. Suara kokok ayam sebagai pertanda alam mulai terang benderang. Di hari yang masih pagi itu, bahkan tak kebanyakan dari mereka yang masih mendengkur mendengar suara panggilan berjama’ah. Tapi tidak dengan Simon dengan wajah tak berekspresi, rumah satu paket dengan sudut – sudut halaman nampak tak ada kotoran tersisa. Baju – baju bertahta milik penghuni rumah juga sudah tersampir rapi di bentangan tali belakang rumah. Matahari mulai mengintip dari timur. Simon bergegas membasahi tubuhnya dengan air kolam di kamar mandi. Seragam putih yang tak nampak putih lagi siap menjadi jubah mencari ilmu.
Parade hingar bingar mengiringi bayangan Simon mengayuh sepeda tua. Sampai pada halaman berisi kuda besi yang tersusun rapi. Sepeda itu nampak asing dan terlalu bengap di halaman itu. Lirikan tajam mata Simon mengarah pada setiap kuda besi yang berdiri tangguh. Suara tawa mencekik, kali ini dua personil lawak jawa tulen yang setiap hari menjadi gubuk peristirahatan Simon pada sawah terbentang luas. Ubed dan Danar tiba – tiba gambar itu muncul bersama tawa mencekik dihadapan Simon. Ketiga telapak tangan saling diadukan yang menjadikan lengkap perawakan personil lawak jawa tulen. Itulah julukan bagi ketiga bocah ingusan yang berhari luar biasa. SMK Cahaya Harapan tertulis besar di gapura gerbang pintu lalu lalang impian bangsa. Sekolah itu menjadi tempat perhelatan yang sesekali dikerumuni riuh kebisuan oleh suara Pak Khosim. Satu kata mujarab hingga mampu menembus dinding – dinding kebisingan. Tertunduk semua kepala dan mata pekik tak berani mengeluarkan tatapan mata elang. Suara sepatu kulit kilap mengkilap menjadi pemenang di ruang kelas berisi 29 siswa. Pak Khosim yang seperti algojo raja tega, hari ini tak seperti biasa. “Anak – anak! Hari ini nampak begitu cerah, suasana kelas nampak rindang, wajah – wajah kalian nampak penuh semangat.” Kepala tertunduk, satu persatu mulai berani manampakkan batang hidung. Tapi tak bertengger lama. “Untuk itu keluarkan satu lembar kertas, hari ini kita ujian.” Suara reflek sorak mewarnai kelas. Mata melotot Pak Khosim menghipnotis semua siswa mengikuti perintahnya. Simon nampak datar, beda dengan teman – temannya yang kebingunan seperti anak kecil kehilangan Ibunya di tengah pasar malam. Bekal materi terkunci rapat ditas dalam otak Simon. Menjadikan dia hari itu bintang kelas.
Jarum jam melingkar tertempel di permukaan putih dinding kelas telah menunjuk angka berbunyi bel sekolah. Seperti biasa personil lawak jawa tulen bercengkrama di gubuk latah yang tersungging di padang ilalang. Simon, Ubed, dan Danar berlarian melompat di tengah tinggi ilalang menuju tempat yang mereka sebut surga harapan. Gubuk itu berada di tepi sungai yang di belakangnya tumbuh ilalang tinggi menjulang. Melepas lelah terbaring dengan kepala saling bersinggungan. Mata perlahan mulai terpejam, tapi tidak dengan hati dan pikiran yang kian benderang masuk dalam dunia harapan. “Hari ini memang aku nampak seperti pengemis jalanan yang sering diacuhkan oleh raja jalanan, tapi Aku tak tuli, Aku tak buta, Aku tak bisu, dan Aku tak bodoh. Dengan seragam putih kusam ini, Aku bersiap kelak nanti menjadi petarung jalanan bercincin emas putih, bermahkota intan berlian, berjaket dan bersepatu kulit buaya, dengan kuda besi yang tak pernah lelah aku pacu.” Kata Simon dengan penuh keyakinan dan harapan. Beberapa detik hening. Giliran Ubed berharap. “Orang tua ku menyuruhku kawin setelah lulus nanti dengan anak perawan Kepala Desa. Tapi Aku akan berontak, Aku tak mau menjadi orang kuno. Aku akan ke kota menimba ilmu hingga Aku menjadi Insyinyur berhelm kuning, berpakaian stelan baju masuk, dengan dasi bermotif klasik.” “Aku tak mau kalah dengan kalian berdua.” Kata Danar. “Aku anak bungsu dikeluargaku. Aku sudah dikunci untuk tetap disini menggarap sawah – sawah dan perkebunan warisan keluargaku. Tapi Aku akan buka kunci itu, masuk di Akademi Kepolisian menjadi Abdi Negara dengan bintang lima di pundakku.” Terlukis jelas harapan itu dikesaksian air bening sungai, dihadapan gubuk, dibelakang ilalang dan suara kincir yang digerakkan angin berhembus. “Aku pasti bisa.” Tiga kata serentak bersamaan menguasai keras padat menambah energi positif menjelma sebagai semangat membara. Itulah yang menjadikan tempat itu surga harapan bagi personil pelawak jawa tulen.
Kristal cahaya terbentuk dari uraian cahaya senja yang terpancar ke permukaan sungai. Indahnya bukan main, tapi mereka kini sudah pulang ke tempat tinggal masing – masing. Simon sibuk dengan segala bentuk perintah majikan. Ubed berkonteks bangsawan sibuk dengan tutur pinutur alus Bapaknya. Sedangkan Danar harus berbelit – belit dengan urusan sawah – sawah dan perkebunannya. Kesibukan – kesibukan itu mengisi kekosongan liburan semester. Hingga mereka merasakan kerinduan. Kerinduan pada personil lawak jawa tulen, kerinduan pada surga harapan, kerinduan pada SMK Cahaya Harapan, kerinduan pada Pak Khosim. Walau Pak Khosim adalah seorang Killer, tapi itu menjadikan kekuatan roh kerinduan. Itulah yang akan menjadi bumbu – bumbu keharmonisan anak cucu Adam. Malam Jum’at nampak sunyi seram memancarkan aura mistis. Bulu kuduk yang tak mau berhenti berdiri. Suara – suara tawa terkubur dalam – dalam oleh nyanyian burung malam. Hal itu tak menggoyahkan kekuatan niat Simon pergi mengaji di Surau Pak Haji Darmiji. Simon sudah tak asing lagi dengan suasana mencekam. Tampak semangat melepas kerinduan bertemu dengan dua sahabat personil lawak jawa tulen yang juga setiap malam Jum’at mengaji di Surau Pak Haji Darmiji. Aura mistis terhapus saat ketiga personil lawak jawa tulen bertemu di bawah atap surau berdinding anyaman bambu. Selesai mengaji obrolan – obrolan bahkan canda tawa tak ingin di lewati. Sesekali Pak Haji Darmiji menyumbang intermeso yang menambah kembang api keceriaan malam itu. “Jangan lupa rajin belajar, sebentar lagi kalian hadapi UAN.” Kami minta do’anya Pak Haji. Cukup dengan anggukan kepala, membawa langkah kaki mereka berpamitan pulang.
Hari pertama masuk setelah liburan semester menjadi curahan kerinduan diantara siswa SMK Cahaya Harapan. Bagi anak – anak Bukit Lintang, di sekolahlah mereka dapat berkumpul. Suasana itu bertolak belakang ketika siswa – siswi SMK Cahaya Harapan berhadapan dengan tiga hari penentuan. Hari yang ditunggu – tunggu sekaligus hari yang tak ingin dilewati sudah didepan mata. Bagi personil lawak jawa tulen, tiga hari itu adalah tantangan. Tantangan yang harus dilewati dengan siraman bekal materi ilmu. Tantangan yang harus dijawab dengan untaian kata – kata kepada Sang Illahi. Cuma tiga hari, keliatan tak panjang. Tapi butuh siasat agar hari yang tak panjang menghasilkan kenikmatan yang tak pendek.
Satu dua titik berjalan menghardik pada roda dasar. Sudut – sudut bertabur kesunyian mencampakkan kekuatan. Bagai bendera berkibar dengan penghormatan khidmat. Dengan kain diikat dikepala, bersenjata bambu runcing tajam. Perjuangan jelas nampak ditunjukkan anak – anak SMK Cahaya Harapan selama tiga hari. Tak terbesit sedikitpun pada benak raut muka keceriaan. Hingga pada titik temu Wali murid berkumpul di Aula Sekolah. Simon, Ubed, dan Danar linglung dan cemas. Entah apa dipikirnya. Sepi gelisah ditengah banyak orang. Sebuah amplop putih bersih diserahkan pada setiap Wali. Pelan diawali do’a mata terpejam, tangan Ayah Simon mulai menelusuri bentuk amplop. Air mata Ayah Simon bergelimpangan ketika membaca secuil kertas di dalam amplop. Simon serentak mengeluarkan kristal dari matanya, tampak bening hingga menetes di pipi menjadi air mata. Entah air mata bahagia atau kesedihan. Tangan Sang Ayah memeluk tubuh anaknya. Didekapnya erat. Simon hanya pasrah menikmati hangatnya pelukan Sang Ayah. “Kau lulus dengan nilai terbaik di Sekolah, Anakku.” Sujud syukur kepada Sang Pencipta seakan menggambarkan kontak batin ucapan terima kasih kepada – Nya. Menghadap arah penjuru kesucian, kepala menempel di lantai dengan hati sebagai kunci dan air mata sebagai pendamping. Ketika berdiri, kedua sahabatnya sudah didepan mata. Saling berpelukan dan kebahagiaan mengalir hingga Aula Sekolah seakan menjadi rumah milik personil lawak jawa tulen.




Pecah dan buyar oleh sentuhan tangan halus seorang istri di pundak Simon. Seorang gadis cantik berjilbab dengan wajah bercahaya berdiri di belakang Simon. “Hari ini hari libur. Dari tadi pagi Mas melamun terus. Apa ada masalah dengan pekerjaan?” Tanya istri Simon. “Gak ada. Tiba – tiba saja tadi pagi, kehidupanku dulu yang sangat berat tergambar jelas. Bahkan kedua sahabatku di SMK Cahaya Harapan juga ikut disana.” Air mata mulai menggenangi mata Simon. “Hari – hari yang berat tapi sangat membahagiakan. Tanpa hari – hari itu, Aku takkan pernah menjadi Aku yang sekarang ini. Dengan hari – hari itu kudapatkan beasiswa. Dengan hari – hari itu ku menjadi mahasiswa yang lulus kumlot. Dengan hari – hari itu ku mendapatkan pekerjaan. Hingga semua harapanku menjadi nyata dengan hari – hari itu.” Semakin banyak kata – kata terurai air mata kian deras mengalir. Tangan lembut Sang Istri mengusapnya dengan penuh kasih sayang. “Aku rindu pada tanah kelahiranku, Bukit Lintang. Aku rindu bercengkrama dengan keluarga. Aku rindu dengan gelak tawa personil lawak jawa tulen. Aku rindu dengan keindahan surga harapan. Aku rindu dengan mistis surau Pak Haji. Aku rindu dengan keriuhan sekolahku SMK Cahaya Harapan. Hari ini kita pulang ke Bukit Lintang. Kamu persiapkan jaket dan sepatu kulitku. Aku mempersiapkan kuda besi.” Anggukan kepala Sang Istri melangkahkan kuda besi melewati gedung – gedung tinggi perncakar langit, rimbun hutan mahoni, padang ilalang yang kuning menguning, hijau padi terbentang panjang, bukit – bukit berdiri dengan jurang terjal di kanan – kiri menambah keindahan perjalanan dari Karawang menuju Bukit Lintang. “Tunggulah Aku kedua sahabatku, Aku segera datang di Bukit Lintang dengan harapan nyata kita personil lawak jawa tulen yang terucap di surga harapan.”

read more

Kamis, 11 Maret 2010

MEMBACA MEMBUKA JENDELA DUNIA

Kamis, 11 Maret 2010
0 komentar
Membaca Membuka Jendela Dunia
By. Nur Wachid
PBSI B 2009 (R) STKIP PGRI PONOROGO


          Pernahkah sepintas terpikir manfaat membaca ketika sedang membaca ? Memang kadang membaca adalah sebuah hiburan semata. Tapi perlu diketahui hiburan tersebut adalah salah satu manfaat dari membaca. Yang menjadi tolak ukur bukanlah berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk membaca. Bukan juga berapa banyak buku yang sudah dibaca. Tanpa disadari kita membutuhkan waktu sekitar 3 sampai 5 jam dan 5 sampai 10 buku untuk membaca. Apakah yang kita baca dapat ditangkap oleh system kerja otak kita? Sungguh disayangkan apabila apabila waktu dan buku yang banyak sudah dibaca tidak dapat ditangkap oleh system kerja otak kita. Semua akan sia – sia. Kita membuang waktu sedangkan waktu yang terbuang itu dapat diisi dengan berbagai aktivitas lain.
          Memang jika kita belajar pada negara – negara maju seperti Korea, Jepang, Amerika. Mereka berhasil memajukan bangsanya dengan membaca. Mengisi waktu dengan membaca. Dimanapun berada membawa buku bacaan. Seakan membaca sudah menjadi budaya yang melekat pada setiap individu. Sebelum kita belajar dan menerapkan budaya mereka, alangkah lebih optimal sebagai langkah awal kita mengetahui membaca secara mendalam. Membaca dapat dimulai dengan mengetahui manfaat membaca itu sendiri. Dengan begitu kita lebih mempersempit dan lebih efisiensi waktu ketika membaca. Misal, kita sedang mencari fakta mengenai sesuatu hal. Langkah pertama kita mencari sumber buku yang berisi fakta – fakta tersebut. Kedua, setelah menemukan sumber buku yang dicari, kita membaca dengan teknik sesuai dengan manfaat membaca yang sudah ditentukan yaitu mencari fakta. Secara efisiensi waktu, tidak terlalu banyak waktu yang terbuang. Secara manfaat kita juga memperoleh manfaat tersebut.
          Berbicara tentang budaya, bagaimana membaca itu menjadi budaya di bangsa kita? Kita tengok berapa prosentase kaum perlajar dan kaum intelektual yang membudayakan membaca? Berapa banyak orang – orang yang memenuhi perpustakaan – perpustakaan ? Pertanyaan tersebut akan terjawab sendiri ketika melihat fakta di Ponorogo misalnya. Sekitar pukul 5 sore sampai 10 malam tak jarang para pelajar dan para mahasiswa memenuhi dan menghabiskan waktu duduk berjam – jam sambil minum kopi di warung trotoar jalan protokol di Ponorogo. Memang sulit mengubah kebiasaan – kebiasaan yang sudah menjadi budaya tersebut. Dan tak ada hak untuk orang lain kecuali pribadi itu sendiri mau mengubahnya. Tapi tidak mustahil menjadikan membaca sebagai budaya. Tentunya membutuhkan proses dan waktu yang tidak pendek. Perlu perjuangan dan usaha keras dari kalangan – kalangan tertentu dan instansi – instansi terkait. Peran serta dari warga masyarakat yang dengan penuh kesadaran tanpa ada unsur paksaan sedikitpun juga sangat dibutuhkan untuk mewujudkannya.
          Sebagai langkah awal, salah satunya adalah dengan mensosialisasikan tentang manfaat membaca. Dengan membaca kita dapat melihat dunia ini tampak kecil. Dengan ilmu dan informasi – informasi yang sudah diperoleh dari membaca, dapat menjadi cara mengatasi problematika kehidupan. Tak ada lagi yang dipermasalahkan. Hingga tuntutan ekonomi akan terpenuhi akibat dari orang – orang yang sudah memperoleh ilmu tentang cara mengatasi ekonomi melalui membaca. Dan masih banyak lagi manfaat dari membaca. Yang perlu diingat bahwa membaca tak akan membuat kita rugi. Bahkan banyak sekali keuntungan yang diperoleh melalui membaca.
          Langkah berikutnya adalah memperbaiki kinerja dan sarana prasarana fasilitas perpustakaan. Dengan fasilitas – fasilitas yang lengkap dan nyaman, menimbulkan minat dan menjadikan fasilitas tersebut seperti surga ilmu pada diri pembaca. Mereka akan lebih betah tinggal di perpustakaan dari pada tinggal di tempat tinggal masing – masing. Hingga tak didapati perpustakaan yang sepi akan pengunjung. Bahkan ketika membaca sudah menjadi budaya yang melekat disetiap individu, kita masih melihat lagi para pelajar dan kaum intelektual duduk berjam – jam sambil minum kopi di warung trotoar, tapi bedanya ditangan mereka ada buku yang selalu dibaca.

read more

 

koTak ikLan


Supported By