Nyanyian Malam*
Jika ditanya siapa orang yang paling bijaksana di kampung itu? Tak sedikit mengatakan dia adalah Si Tua dari timur yang bertubuh bengkok dan berkaki pincang sejak dia dilahirkan atau malah sejak dalam rahim seorang Ibu. Terjerat dalam sebuah lingkaran takdir, menjalani hidup tanpa kedua orang yang mewakili. Sang Ibu berani menaruhkan nyawanya untuk memperlihatkan isi kandungan kepada mata dunia. Di dalam kandungan ia melihat, saat ayah hendak mencari uang untuk biaya melahirkan, dituduh mencuri disalah satu konglomerat, nyawanya dipasrahkan kepada warga yang menghakimi memukuli ramai-ramai. Deritanya panjang, sepanjang garis khatulistiwa yang menggelangi bumi. Sengsaranya tak henti dan tak jemu hinggap dalam segala alir kehidupan.
Suara itu datang tiba-tiba saat malam mulai meradang kegelapan. Suara yang biasa muncul pada malam hari. Ditengah kesepian malam dimana mata ditakdirkan untuk terpejam. Sambil membawa kentongan mungkin suara itu jika dapat dilihat wujudnya. Seperti nyanyian bocah saat menjelang sahur pada bulan ramadhan. Di pos jaga persimpangan jalan kampung, penjaga tak menjumpai sedikitpun bentuk dari suara itu. Tiba-tiba datang, dan pergi berlalu-lalang. Warga menjuluki suara misteri itu dengan nyanyian malam seorang bijak. Dimana suara itu mampir kesalah satu rumah pastilah orang itu keesokannya mendapatkan keberuntungan, entah itu hanya sekoin rupiah ataupun sepucuk padi. Dan kebanyakan orang mendapatkan yang berlimpah setelah keesokannya.
Setiap malam setiap orang mempersiapkan semuanya agar suara itu singgah dirumahnya. Tak mudah, bahkan sekalipun orang hebat ataupun orang yang telah thowaf atau orang yang menghabiskan ratusan buku untuk dapat menebaknya. Sesuka hati atau ada ritual persembahan agar suara itu singgah. Berbagai sesaji dan aroma kemenyan membangkitkan bulu kuduk. Pak Johan sewaktu malam duduk bersila dan berenung tanpa membuka hatinya untuk Sang Pencipta, semata hanya untuk nyanyian malam. Dialah orang yang paling khusyuk di kampung itu karena keesokannya Pak Johan mendapatkan berlimpah, padi dan cabe di sawahnya yang semula habis dimakan hama, tiba-tiba hari itu panen besar. Aku tertegun menelan ludah melihat hampir tidak percaya, bahkan orang seberang mendengar kabar itu beramai datang kerumah Pak Johan untuk hanya sekedar melihat dan mendengarkan cerita dengan harapan agar rumahnya dapat disinggahi nyanyian malam. Aku adalah seorang penimba ilmu yang berakar pada sebuah akal pikiran, kukatakan pada warga kampung agar tak percaya pada nyanyian malam. Tapi yang kudapatkan adalah caci maki bahkan air liur sempat mampir diwajahku. Aku menjadi musuh, dianggap sampah oleh warga.
Begitu malam berikutnya, tempat bersujud tampak sepi, hanya ramai oleh debu-debu yang berlari dan menari seperti gelagat para penghibur malam. Kucoba menghadapi kenyataan ini dengan segala akibat yang harus kuterima, yaitu menjadi musuh warga kampung. Setiap hari kubersihkan masjid yang sudah mulai lesu, hanya ditemani satu orang, dia adalah Si Tua dari timur. Terkadang diwaktu sujudku kotoran sapi dan kerbau dilemparkan warga, mereka seperti orang yang sedang melempar jumroh. Ku tatap setiap tiang penyangga masjid, kuyakinkan diriku sekuat dengan tiang itu. Ku berlari menuju kantor desa dan kecamatan untuk sekedar melihat KTP warga kampung, mataku lembab sebab agama yang tertulis adalah sama dengan yang tertulis di KTP ku. Tetap tak ku percayai, ku usap-usap mata, barangkali aku salah membaca. Tulisan itu tetap dan tidak berubah. Kejadian dikampungku adalah hal yang realistis tapi itu tidak serealistis keyakinanku pada-Nya.
Saat matahari mulai ngantuk di ujung barat dan mungkin akan bermimpi indah dengan atau tanpa nyanyian malam, ku terduduk di ujung bukit tertinggi tanah kampungku. Kupandangi alam bebas yang lepas tanpa kunci-kunci yang mengikat. Disudut itu ku terpaku pada sebuah golek atau mungkin boneka dan kebanyakan disebut orang-orangan sawah, golek itu tetap kokoh berdiri walaupun dia tampak lusuh dengan topi dan menanggalkan baju compang-camping. Boneka itu tetap berfungsi dan berguna, boneka itu berhasil mengusir para burung yang ingin singgah mendapatkan makan disalah satu padi. Renungan akan boneka sawah itu menunjukkan satu jalan akan kekuatanku menghadapi hidup yang tak sejalan dengan pemikiranku.
Saat shubuh datang dan mentari mulai bertengger dari timur, warga bergerombol berbondong-bondong kerumahnya Pak Wardi. Tapi aneh, hal itu bukan kejadian yang diterima oleh warga dimana pada malam sebelumnya suara malam singgah ke rumah warga. Ku dengar dari salah satu warga kampung yang lewat dan kuintip dengan kedua telingaku, “Memang benar rumahnya Pak Wardi tadi malam disinggahi suara malam, tapi kenapa hari ini anaknya meninggal tanpa sebab, dan anehnya Pak Wardi tak mendapat keberuntungan sama sekali.” Ada sedikit kebahagiaan dan sepotong keganjilan dalam raga dan anganku. Aku datang kerumah Pak Wardi untuk ikut mengantarkan jenazah menuju ke pemakaman. Saat upacara pemakaman usai, para warga berbincang-bincang tentang kejadian itu. Renungan alirkan pencerahan dalam segala bentuk pikiran, ku tarik garis horizontal vertikal dan kudapati sebuah kesimpulan atas kejadian itu : semoga warga akan tidak percaya lagi pada nyanyian malam.
***
Tangisan langit tak kunjung berhenti, dengan kacamata hitam menampakkan retakkan cahaya yang hampir membelah langit, lalu diikuti suara seperti hantaman batu yang keras. Titik airnya lebat dan menusuk kulit, berubah bentuk menjadi paku yang menancap-nancap di bumi. Angin kencangpun ikut berkunjung juga meramaikan pelataran. Mengendap dengan suhu di dalam lemari es. Mata terpejam tak dapat juga, kepala tak tahu arah seperti tertusuk-tusuk jarum goni. Memandang atap rumah berputar-putar seperti menaiki komedi putar di pasar malam. Ku coba menahan segala gejolak yang terngiang-ngiang dalam kepalaku. Saat hujan mulai terdengar lirih, terdengar nyata bagi kedua telingaku mendengarkan nyanyian malam. Suaranya menggema menggaung keras entah dari mana datangnya. Membuatku penasaran, kutekadkan untuk keluar. Inilah satu-satunya kesempatan untuk mengakhiri mitos tentang nyanyian malam, dalang dibalik semua ini harus dapat ku temukan. Kucari nyanyian itu di sudut-sudut kampung, tapi tak ada hasil. Saat ku yakin sumber suara itu ada di dekat sumur tua, ku dekati tapi nyanyian itu pergi menjauh dan begitu seterusnya. Aku terduduk lemas dibawah pohon kelapa dibelakang rumah Pak Wardi. Ditengah kegelapan penuh dengan bau kemenyan yang disiapkan warga untuk menyambut nyanyian malam. Pintu rumah menyambut tubuhku yang basah, ku akhiri pencarian malam ini.
Pucuk pagi meneteskan embunnya ditemani berbagai macam bentuk sosial yang siap beraktivitas. Di bawah pagi yang sejuk, untuk kali kedua warga berbondong dengan berita duka, kali ini adalah keluarga Pak Warman. Dengan praduga yang sama akibat nyanyian malam yang berhenti di rumah Pak Wardi. Anak Pak Warman meninggal dunia. Warga resah dan beramai membincangkan kejadian itu. “Siapa lagi yang menjadi korban nyanyian malam?” cetus Pak Kepala Desa. Warga terdiam tak tersahut sedikitpun akan hal itu. “Saya tadi malam melihat Si Tua dari timur berjalan sambil membawa kentongan” salah seorang penjaga ronda malam memberanikan diri berbicara. “Pasti Si Tua itu memiliki ajaran sesat atau ilmu hitam, karena nyanyian itu seperti nyanyian yang diikuti seretan langkah kaki” tambah seorang laki-laki paruh baya sambil mengepalkan tangannya. “Ayo kita datangi Si Tua itu, kita hajar ramai-ramai dan kita gantung di tiang depan kantor kepala desa.” Warga pun beramai mendatangi rumah Si Tua dari timur. Pak Kepala Desa tak berdaya mencoba menahan warga yang sedang naik darah. Mereka menjelma menjadi dadjal, mereka seperti menjadi algojo yang dihinggapi para iblis. Pikiran mereka tak berbentuk seperti aslinya pikiran manusia. Aku hanya terdiam di sudut balai desa.
Hanya selang beberapa menit, warga menggotong Si Tua dari timur yang sudah babak belur dan juga dengan kulit yang melepuh akibat luka bakar. Digantungnya dengan tali yang biasa dikenakan sapi milik warga. “Kau Si Tua dari timur yang telah merusak kampung kami, kau harus dibinasahkan” teriak warga. Aku tak terima perlakuan warga kampung yang berlaku seperti raja tega, seperti algojo jahanam, bertingkah seperti hakim yang tega menjerat orang tak bersalah, dan membebaskan para tikus negara. “Si Tua, kaulah satu-satunya orang yang tidak percaya pada nyanyian malam, kaulah dalang dibalik semua ini, anakku mati juga gara-gara tingkah mu yang seperti iblis” teriak Pak Warman. Saat tubuh Si Tua diguyur dengan minyak tanah, ku berdiri didepan warga membelakangi Si Tua, ku berteriak sekuat tenaga “berhenti! kalianlah yang bertingkah seperti iblis, kalianlah pemuja iblis itu, Si Tua tak bersalah, kalianlah yang melupakan kepercayaan kepada Tuhan kalian, iblis telah bersemayam dialiran darah kalian.” Warga seketika berhenti. Ku dengar seorang berteriak “Dia juga tidak percaya kepada nyanyian malam, mereka berdualah yang telah mencelakakan kampung kita, ayo kita bakar kedua orang itu hidup-hidup.” Sesuatu entah itu apa mengahantam wajahku, seketika ku pingsan, dan dengan tubuh sempoyogan ku dijantur bersama Si Tua di depan kantor kepala desa. Tubuhku dipenuhi bau minyak tanah dan bensin. Dan kulihat dengan mata samar yang berlumur darah, api semakin membesar menyambar tubuhku. Nyanyian malam membutakan mata pikiran, mitos mengalahkan keyakinan. Ku berdamai dalam titik diamku bersama Si Tua dari timur.
______________
*) Ponorogo, 3 Februari 2011
Karya Nur Wachid
Kupersembahkan untuk Ibu yang selalu tersenyum di surga
Untuk ayah yang selalu mengayuh roda tiganya
Untuk keluarga tercinta,
Untuk ketiga sahabatku dan untuk adinda kekasihku tersayang